Gelanggang pertarungan politik di akhir masa jabatan Soekarno senantiasa menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia. Kontra gagasan antara Nasionalis, Komunis, dan Agama yang berusaha dipersatukan Soekarno di bawah konsep Nasakom jatuh bersama rezimnya. Akan tetapi, kita ketahui transparasi fakta yang seharusnya dapat disaksikan di buku-buku sejarah mengenai hal itu keruh selama seperempat abad lebih.
Dengan kata lain,
komprehensifitas mengenai rivalitas politik dari peristiwa Gestapu hingga
suksesi orde saat itu kontradiktif dengan prinsip kepenulisan sejarah itu
sendiri. Tak elak setelah Orde Baru runtuh, saksi atau mungkin pelaku Gestapu
yang masih hidup,yang di antaranya mendekam di balik jeruji baja selama puluhan
tahun itu kini menjadi incaran media- yang juga baru “lolos” dari macetnya
demokrasi.
Berikut kami paparkan
bebarapa pernyataan dari sumber sekunder yang tak akan ditemukan di masa Orde
Baru. Namun dari itu, artikel ini bukan bermaksud menyudutkan Orde Baru atau
mungkin menggiring mindsett ke sudut
pandang pro-komunis. Akan tetapi ini sekedar penyebaran informasi dari peristiwa
Gestapu, oleh sudut pandang kolega Soekarno dan orang-orang yang pernah menjadi
tersangka pada peristiwa monumental tersebut.
Rivalitas di Kubu AD
Dalam buku Saksi dan Pelaku Gestapu terbitan 2005, Serka
Bungkus yang saat itu bertugas menjemput M.T. Haryono di bawah komando Lettu
Dul Arief menyatakan dengan tegas hal ini.
“... tapi,
memang banyak isu: Angkatan Darat seolah-olah sudah mengadakan persiapan. Kami
berjaga-jaga, kalau terjadi apa-apa pada diri Bung Karno. Jadi, perwira-perwira
Angkatan Darat itulah yang kurang rasa persatuan. Seperti ada rivalitas,
kejar-mengejar”-tegas
Seorang mantan prajurit Cakrabirawa (sekarang Paspampres) itu.
Hal tersebut dibenarkan oleh
Komandan AU saat itu, Wisnoe Djajengminardo. Ia menyatakan bahwa terdapat
pertempuran di dalam RPKAD Jawa Tengah dan Timur. Gencatan senjata yang
berlokasi di Halim tersebut terjadi pada 2 Oktober, namun pada akhirnya dilerai
dan berhasil. Pasca terjadinya peristiwa itu, Soeharto, Omar Dani,
Martadinata,dan Tjiptoyudo dipanggil oleh Presiden ke Istana Bogor, namun
Soeharto tidak hadir.
Lanjutkan Baca "Dewan Jendralah yang ingin melakukan kudeta, bukan PKI?"
0 comments:
Post a Comment