UA-64095463-1

Perang Bubat: Belanda dalam Literasi Sejarah


“Orang Sunda dilarang kawin dengan orang Jawa”.
Sebagian besar dari kita pernah mendengar kalimat tersebut atau mendekati itu. Tentu kita harus berhati-hati dengan berbagai pernyataan seperti kalimat primordialistis di atas. Tapi seberapa tahukah kita tentang penyebabnya? Atau seberapa pentingkah kita mengetahuinya? Dan apakah sejarah mengenai kalimat itu sudah komprehensif?
Mari kita simpan terlebih dahulu pernyataan-pernyataan di atas. Seorang budayawan, Emha Ainun Nadjib pernah berkata bahwa “surga seakan pernah bocor dan menyipratkan kekayaanya ke bumi, penggalan surga itu bernama Indonesia Raya”. Dari masa imperialisme kuno hingga saat ini, hal itulah yang membuat bangsa-bangsa lain ingin memiliki Indonesia. Berbagai macam cara mereka selenggarakan guna menyabotase  “sepenggal surga” ini dari genggaman manusia Indonesia. Adapun  dalam buku-buku sejarah, kita mengetahui bahwa nenek moyang kita mempertahankanya habis-habisan. Di samping itu, para penjajah melakukan segala cara guna ekspansinya, dari strategi “halus” hingga yang paling “kasar”: devide et empera (politik pecah belah).
Jika cara “halus” tidak membuahkan hasil, maka strategi pecah belah merupakan strategi paling efektif dilakukan. Banyak kisah dalam sejarah dimanipulasi sebagai infrastruktur hasrat imperialisme dan kolonialisme, termasuk  kitab pararaton dan kidung Sunda dengan perang bubatnya. Atau memang kedua sumber sejarah tersebut benar apa adanya namun dibesar-besarkan oleh penjajah. Padahal mungkin sebelumnya antara suku Jawa-Sunda sudah memiliki pertalian yang baik. Tetapi apapun bentuknya, pebedaan menjadi media yang peling efektif bagi penjajah guna  kepentingan ekspansifnya.
Baik Kidung Sunda dan kitab pararaton konon mempunyai korelasi cerita yang sama: bahwa Hayam Wuruk (Raja Mapahit) meminang Putri Sunda-Galuh bernama Dyah Pitaloka. Kemudian terjadi pertumpahan darah antara pasukan Gajah Mada dan pihak Sunda tersebut di lapangan Bubat. Akhirnya, Dyah Pitaloka bersama ayahnya, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata) pun meninggal di Lapangan Bubat. Lalu sampai hari ini, hiruk-pikuk teori bermunculan tentang distruksi sosial tersebut.  Teori  yang paling sering kita dengar adalah bahwa tragedi bubat merupakan ambisi Gajah Mada dalam implementasi sumpah palapanya.
Namun ada lagi hal yang menarik: Para arkeolog menyimpulkan bahwa kitab pararaton dan kidung Sunda merupakam sumber sejarah yang tidak valid. Alasanya, karena sampai saat ini belum diketemukan prasasti tentang perang bubat, hanya berupa dua buah sumber di atas yang sulit dipercaya. Bahkan, kitab Negarakertama yang lebih otentik bagi kebenaran sama sekali tidak menerangkan perang kontroversial tersebut. Sangat absurd jika Mpu Prapanca sebagi penulis kitab Negarakertagama tidak mengetahui Perang yang mempengaruhi kondisi politik Majapahit ketika itu. Bahkan menurut beberapa sumber, kitab pararaton dan kidung Sunda (Sundayana) ditulis ratusan tahun setelah rezim Hayam Wuruk.
Hal tersebut semakin menguatkan teori bahwa terdapat pemalsuan sejarah untuk kepentingan kolonialisasi dan imperialisme. Sangat masuk akal, sebab politik pecah belah merupakan strategi yang efektif dan tidak memerlukan banyak biaya. Tentu negara yang sudah maju ketika itu mamahami kelemahan sebuah negara heterogen seperti Indonesia. Bahkan hingga hari ini, pluraritas masyarakat dan multi-ideologi seringkali menjadi alasan mengenai berbagai konflik sosial yang terjadi di Tanah Air. Mislanya saja teori pecah-belah pada tragedi Ambon tahun 1999. Maka tidak menutup kemungkinan fenomena perang bubat pun mengalami hal serupa.
Memang, terlalu banyak alur sejarah yang dibelokkan layaknya tragedi Sunda-Jawa. Contoh lain yaitu literasi Syekh Siti Jenar (silahkan Baca Syekh Siti Jenar, SejarahTeori dan Perspektif Kontroversialnya). Jika  tokoh sufi tersebut menuai kontroversi karena aliran agama yang dipolitisasi, namun Perang Bubat mutlak sebagai penggalang fanatisme kesukuan. Keduanya tentu sama-sama mengerikan. Namun parahnya lagi (seperti yang telah dijabarkan diatas), suksesi perang bubat membuat sebagian masyarakat kita percaya lalu menjadikan jurang pemisah perkawinan antar suku. Tentu generasi sejarah kini memerlukan komprehensifitas sejarah sebagai pemersatu “sepenggal surga” ini. 

Perang Bubat: Belanda dalam Literasi Sejarah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment