“Orang
Sunda dilarang kawin dengan orang Jawa”.
Sebagian
besar dari kita pernah mendengar kalimat tersebut atau mendekati itu. Tentu
kita harus berhati-hati dengan berbagai pernyataan seperti kalimat primordialistis
di atas. Tapi seberapa tahukah kita tentang penyebabnya? Atau seberapa
pentingkah kita mengetahuinya? Dan apakah sejarah mengenai kalimat itu sudah
komprehensif?
Mari
kita simpan terlebih dahulu pernyataan-pernyataan di atas. Seorang budayawan, Emha
Ainun Nadjib pernah berkata bahwa “surga seakan pernah bocor dan menyipratkan
kekayaanya ke bumi, penggalan surga itu bernama Indonesia Raya”. Dari masa
imperialisme kuno hingga saat ini, hal itulah yang membuat bangsa-bangsa lain
ingin memiliki Indonesia. Berbagai macam cara mereka selenggarakan guna menyabotase
“sepenggal surga” ini dari genggaman
manusia Indonesia. Adapun dalam
buku-buku sejarah, kita mengetahui bahwa nenek moyang kita mempertahankanya
habis-habisan. Di samping itu, para penjajah melakukan segala cara guna ekspansinya,
dari strategi “halus” hingga yang paling “kasar”: devide et empera (politik pecah belah).
Jika
cara “halus” tidak membuahkan hasil, maka strategi pecah belah merupakan
strategi paling efektif dilakukan. Banyak kisah dalam sejarah dimanipulasi sebagai
infrastruktur hasrat imperialisme dan kolonialisme, termasuk kitab pararaton dan kidung Sunda dengan perang
bubatnya. Atau memang kedua sumber sejarah tersebut benar apa adanya namun dibesar-besarkan
oleh penjajah. Padahal mungkin sebelumnya antara suku Jawa-Sunda sudah memiliki
pertalian yang baik. Tetapi apapun bentuknya, pebedaan menjadi media yang
peling efektif bagi penjajah guna kepentingan ekspansifnya.
Baik
Kidung Sunda dan kitab pararaton konon mempunyai korelasi cerita yang sama:
bahwa Hayam Wuruk (Raja Mapahit) meminang Putri Sunda-Galuh bernama Dyah
Pitaloka. Kemudian terjadi pertumpahan darah antara pasukan Gajah Mada dan pihak
Sunda tersebut di lapangan Bubat. Akhirnya, Dyah Pitaloka bersama ayahnya, Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Ratu Jayadewata) pun meninggal di
Lapangan Bubat. Lalu sampai hari ini, hiruk-pikuk teori bermunculan tentang distruksi
sosial tersebut. Teori yang paling sering kita dengar adalah bahwa
tragedi bubat merupakan ambisi Gajah Mada dalam implementasi sumpah palapanya.
Namun
ada lagi hal yang menarik: Para arkeolog menyimpulkan bahwa kitab pararaton dan
kidung Sunda merupakam sumber sejarah yang tidak valid. Alasanya, karena sampai
saat ini belum diketemukan prasasti tentang perang bubat, hanya berupa dua buah
sumber di atas yang sulit dipercaya. Bahkan, kitab Negarakertama yang lebih
otentik bagi kebenaran sama sekali tidak menerangkan perang kontroversial tersebut.
Sangat absurd jika Mpu Prapanca sebagi penulis kitab Negarakertagama tidak
mengetahui Perang yang mempengaruhi kondisi politik Majapahit ketika itu. Bahkan
menurut beberapa sumber, kitab pararaton dan kidung Sunda (Sundayana) ditulis
ratusan tahun setelah rezim Hayam Wuruk.
Hal
tersebut semakin menguatkan teori bahwa terdapat pemalsuan sejarah untuk
kepentingan kolonialisasi dan imperialisme. Sangat masuk akal, sebab politik
pecah belah merupakan strategi yang efektif dan tidak memerlukan banyak biaya.
Tentu negara yang sudah maju ketika itu mamahami kelemahan sebuah negara
heterogen seperti Indonesia. Bahkan hingga hari ini, pluraritas masyarakat dan
multi-ideologi seringkali menjadi alasan mengenai berbagai konflik sosial yang
terjadi di Tanah Air. Mislanya saja teori pecah-belah pada tragedi Ambon tahun
1999. Maka tidak menutup kemungkinan fenomena perang bubat pun mengalami hal
serupa.
Memang,
terlalu banyak alur sejarah yang dibelokkan layaknya tragedi Sunda-Jawa. Contoh
lain yaitu literasi Syekh Siti Jenar (silahkan Baca Syekh Siti Jenar, SejarahTeori dan Perspektif Kontroversialnya). Jika
tokoh sufi tersebut menuai kontroversi karena aliran agama yang
dipolitisasi, namun Perang Bubat mutlak sebagai penggalang fanatisme kesukuan.
Keduanya tentu sama-sama mengerikan. Namun parahnya lagi (seperti yang telah
dijabarkan diatas), suksesi perang bubat membuat sebagian masyarakat kita
percaya lalu menjadikan jurang pemisah perkawinan antar suku. Tentu generasi
sejarah kini memerlukan komprehensifitas sejarah sebagai pemersatu “sepenggal
surga” ini.
0 comments:
Post a Comment