Gejolak politik Tanah
Air dekade 1960-an merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Dari taktik
anarki pelengseran kekuasaan hingga pembunuhan masal 30 September. Pembantaian masal
yang konon berasal dari surat perintah sebelas Maret (supersemar) itu kenyataanya
bukan hanya menggerus kaum kiri, namun juga Soekarnois dan pihak manapun
yang dianggap berbahaya oleh rezim yang berkuasa.
Soekarno berkata sebenarnya ia mampu melawan, akan tetapi beliau lebih memilih mengalah untuk menghindari
pertumpahan darah lagi, apalagi melibatkan rakyatnya. Wajar saja, banyak pihak
yang masih loyal terhadap Soekarno: AU, KKO (sekarang marinir), Divisi
Siliwangi dan Brawijaya. Bung Karno yang saat itu sedang sakit di Wisma Yasoo, Jl
Gatot Soebroto, Jakarta itu pun tak elak semakin tertekan oleh lawan
politiknya.
Saat itu bahkan ada perintah
yang menyatakan semua orang dilarang menjenguk Soekarno, termasuk keluarga
dekatnya. Sampai-sampai beliau berkata: “Penderitaan saya di zaman Belanda tak
seberat yang saya alami sekarang”. Sikap terisolir yang di alami Soekarno itu
lalu dibaca oleh koleganya: bahwa ada golongan tertentu yang ingin Soekarno
meninggal dengan cepat. Seperti yang dinyatakan Dewi Soekarno (mantan istri ke
5 Soekarno) ini:
“Hanya menurut saya ada pihak-pihak yang
sangat tidak sabar untuk menunggu kematian Bung Karno. Bisa jadi ini merupakan
langkah awal dari upaya mengeliminasi Bapak perlahan-lahan. Dengan melolosi
kekuasaan dan kesukaanya, membuatnya sedih dan putus asa. Karena saat itu
seharusnya Indonesia mengadakan pemilihan umum. Tapi itu tidak akan pernah
terjadi selama Bapak masih hidup...”
Tak jauh berbeda dengan
yang dikatakan oleh Hartini Soekarno, bahwa memang Bung Karno tidak
diperbolehkan membaca koran dan menonton televisi, “pokoknya segala macam
informasi dari luar tidak bisa diterima Bung Karno. Saya sendiri tidak tahu apa
alasanya mengapa Bapak diperlakukan seperti itu.” Tukas istri Soeharto kelahiran
Ponorogo itu. Juga terdapat kisah dimana pengawal kesayangan Soekarno yang dipenjara
karena mencoba menjenguk dan memfasilitasi Soekarno.
Akhirnya, bersamaan
dengan memuncaknya ambisiusitas Soeharto dalam menumpas lawan-lawan politiknya,
pada 21 Juni 1970 Putra Sang Fajar itupun meninggal. Tokoh panutan rakyat yang
pernah lantang berkata: “Untuk membunuh saya adalah mudah, jauhkan saja saya
dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan” itupun benar-benar meninggal dalam keterasingan dari
rakyatnya sendiri, di bawah tekanan rezim yang berkuasa.
0 comments:
Post a Comment