Politik pecah belah atau politik
adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang
bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar
menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks
lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk
bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. (Wikipedia). Dari definisi tersebut kita akan paham mengapa
banyak teori yang menghubungkan kaum imperialis dan pertikaian-pertikaian antar
golongan di Indonesia, tentunya mengingat bahwa kita merupakan masyarakat plurar.
Teori tersebut menyatakan bahwa literatur
ras dan agama merupakan media yang paling efektif untuk penyelenggaraan strategi
politik ini. Seperti layaknya Ternate - Tidore, literasi Bubat, Lekra - Manifesto Kebudayan, propaganda teologi, hingga sosial-ekonomi saat ini, literasi Syekh
Siti Jenar pun tak luput dari teori poltik Devide
et Empera (Politik Pecah Belah)ini sebagai tindakan ekspansif barat. Berikut
kami kutip pernyataan yang banyak beredar di dunia maya mengenai teori ini:
“Penghancuran
sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah
Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara
Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan
Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik
Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan
dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan
dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan
dengan Syaikh Siti Jenar]”
0 comments:
Post a Comment