Perang
dingin (1947–1991) membawa dampak sosial-politik-ekonomi di seluruh penjuru
dunia. Pertarungan dua ideologi terbesar sepanjang sejarah tersebut berimbas pada
pola pikir masyarakat dunia hingga kini. Uni Soviet sebagai mercusuar komunis-sosialis
tidak hanya memancarkan ideologinya dengan militerisasi, namun dengan berbagai propaganda
yang menyudutkan Amerika yang berhaluan liberal-kapitalis. Amerika pun
melakukan hal serupa dengan penyelenggaraan propaganda melalui media masa,
manipulasi sejarah, bahkan kesusasteraan. Tentu sang jawara memegang kendali
atas sejarah dan opini masyarakat dunia hingga saat ini termasuk Indonesia.
Penyebaran
“syiar” doktrin barat ke tanah air dengan leluasa masuk melalui demokrasi
liberal parlementer sebagai sistem politik ketika itu. Kebebasan berfikir dan
bertindak membuat pertentangan antara sayap kanan (liberalis) dan kiri
(sosialis) semakin jelas wajahnya dalam tiga panji besar: nasionalis, agama,
dan komunis. Hal tersebut membuat bung Karno dengan cerdas mengubah sistem
politik di atas menjadi demokrasi terpimpin yang bersemboyan NASAKOM
(Nasionalisme, Agama, dan Komunis) sebagai alat pemersatu. Meskipun begitu, kampanye
anti liberal dan anti kapitalisme pun bermunculan di media massa dan kesusasteraan.
Adalah
Lekra, (akronim dari Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan A.S Dharta pada 17
Agustus 1950. Lembaga sayap kiri ini memiliki jargon seni untuk rakyat, politik
adalah panglima, realisme sosialis dan ideologi di atas seni dalam pedoman
konsep Mukadimah Lekra. Namun berakhirnya rezim Soekarno menandai runtuhnya
lembaga ini, yakni bebarapa dekade setelah Soeharto yang berhaluan liberalis
Amerika berkuasa. Soeharto menyatakan pelarangan terhadap komunisme, Leninisme,
dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya yang tertuang pada TAP
MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966.
Banyak
anggota Lekra menjadi tahanan politik bahkan terbunuh pasca genosida terhadap
komunisme (1965–1966). Pada masa transisi kekuasan itu, Soeharto benar-benar mulai
membuka lebar pintu liberal-kapitalis untuk Indonesia. Orba merupakan rezim
manipulasi segala sesuatu yang berbau komunis terburuk sepanjang sejarah
Indonesia. Legitimasi negatif terhadap lekra bersama komunis-sosialisnya
menjadi estapet turun temurun hingga kini. Lekra sebagai bentuk perjuangan kaum
“bawah” diberangus oleh ketidak-transparansinya sejarah. Hal tersebut terasa
hingga kini, bahwa: Komunisme merupakan faham sesat, ideologi jahat, Atheisme, kampanye bahaya laten komunis, dsb.
Sebaliknya,
TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966 menjadi angin segar bagi Manikebu (Manifes Kebudayaan).
Sebelumnya, 8 Mei 1964 manikebu-pun pernah diberhentikan pada masa Orde Lama. Organisasi
bentukan HB Jassin, Wiratmo Soekito dan Trisno Soemardjo ini di anggap menyaingi
Manipol RI. Alasan Soekarno ketika itu karena Manifesto Politik merupakan
haluan negara tunggal, bukan manifesto lainya. Organisasi yang memiliki jargon
“humanisme universal” ini juga di anggap pesimisme akan revolusi oleh bung
Karno. Dengan runtuhnya Lekra, tokoh-tokoh Manikebu yang banyak berhaluan
liberal-nasionalis semakin kokoh dalam menancapkan tonggaknya di tanah air.
Naiknya
Soeharto ke tampuk pemerintahan dan imperialisme Amerika ke dalam
negeri, serta polemik kesusasteraan saat itu, maka sebenarnya yang terjadi
bukanlah konflik sastra, namun konflik politik. (baca juga: Jejak Suksesi'67). Bahkan pada saat itu bukan juga
konflik kebudayaan, karena banyak seniman yang mengekspresikan pemikiranya
tanpa cerminan budaya itu sendiri. Politik hanya mengenal kalah dan menang,
benar dan salah, namun sastra berbicara perbedaan dan keberagaman. Namun
generasi sastra membutuhkan sejarahnya yang komprehensif. Tak jarang tokoh-tokoh
radikal manikebu dan dalam tekanan orba menyamarkan jati diri lekra, menggiring
opini masyarakat melalui media dan sastra.
0 comments:
Post a Comment