UA-64095463-1

Lekra, Prahara Transparasi Jati Diri

Perang dingin (1947–1991) membawa dampak sosial-politik-ekonomi di seluruh penjuru dunia. Pertarungan dua ideologi terbesar sepanjang sejarah tersebut berimbas pada pola pikir masyarakat dunia hingga kini. Uni Soviet sebagai mercusuar komunis-sosialis tidak hanya memancarkan ideologinya dengan militerisasi, namun dengan berbagai propaganda yang menyudutkan Amerika yang berhaluan liberal-kapitalis. Amerika pun melakukan hal serupa dengan penyelenggaraan propaganda melalui media masa, manipulasi sejarah, bahkan kesusasteraan. Tentu sang jawara memegang kendali atas sejarah dan opini masyarakat dunia hingga saat ini termasuk Indonesia.

Penyebaran “syiar” doktrin barat ke tanah air dengan leluasa masuk melalui demokrasi liberal parlementer sebagai sistem politik ketika itu. Kebebasan berfikir dan bertindak membuat pertentangan antara sayap kanan (liberalis) dan kiri (sosialis) semakin jelas wajahnya dalam tiga panji besar: nasionalis, agama, dan komunis. Hal tersebut membuat bung Karno dengan cerdas mengubah sistem politik di atas menjadi demokrasi terpimpin yang bersemboyan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis) sebagai alat pemersatu. Meskipun begitu, kampanye anti liberal dan anti kapitalisme pun bermunculan di media massa dan kesusasteraan.

Adalah Lekra, (akronim dari Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan A.S Dharta pada 17 Agustus 1950. Lembaga sayap kiri ini memiliki jargon seni untuk rakyat, politik adalah panglima, realisme sosialis dan ideologi di atas seni dalam pedoman konsep Mukadimah Lekra. Namun berakhirnya rezim Soekarno menandai runtuhnya lembaga ini, yakni bebarapa dekade setelah Soeharto yang berhaluan liberalis Amerika berkuasa. Soeharto menyatakan pelarangan terhadap komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya yang tertuang pada TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966.

Banyak anggota Lekra menjadi tahanan politik bahkan terbunuh pasca genosida terhadap komunisme (1965–1966). Pada masa transisi kekuasan itu, Soeharto benar-benar mulai membuka lebar pintu liberal-kapitalis untuk Indonesia. Orba merupakan rezim manipulasi segala sesuatu yang berbau komunis terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Legitimasi negatif terhadap lekra bersama komunis-sosialisnya menjadi estapet turun temurun hingga kini. Lekra sebagai bentuk perjuangan kaum “bawah” diberangus oleh ketidak-transparansinya sejarah. Hal tersebut terasa hingga kini, bahwa: Komunisme merupakan faham sesat, ideologi jahat, Atheisme, kampanye bahaya laten komunis, dsb.

Sebaliknya, TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966 menjadi angin segar bagi Manikebu (Manifes Kebudayaan). Sebelumnya, 8 Mei 1964 manikebu-pun pernah diberhentikan pada masa Orde Lama. Organisasi bentukan HB Jassin, Wiratmo Soekito dan Trisno Soemardjo ini di anggap menyaingi Manipol RI. Alasan Soekarno ketika itu karena Manifesto Politik merupakan haluan negara tunggal, bukan manifesto lainya. Organisasi yang memiliki jargon “humanisme universal” ini juga di anggap pesimisme akan revolusi oleh bung Karno. Dengan runtuhnya Lekra, tokoh-tokoh Manikebu yang banyak berhaluan liberal-nasionalis semakin kokoh dalam menancapkan tonggaknya di tanah air.

Naiknya Soeharto ke tampuk pemerintahan dan imperialisme Amerika ke dalam negeri, serta polemik kesusasteraan saat itu, maka sebenarnya yang terjadi bukanlah konflik sastra, namun konflik politik. (baca juga: Jejak Suksesi'67). Bahkan pada saat itu bukan juga konflik kebudayaan, karena banyak seniman yang mengekspresikan pemikiranya tanpa cerminan budaya itu sendiri. Politik hanya mengenal kalah dan menang, benar dan salah, namun sastra berbicara perbedaan dan keberagaman. Namun generasi sastra membutuhkan sejarahnya yang komprehensif. Tak jarang tokoh-tokoh radikal manikebu dan dalam tekanan orba menyamarkan jati diri lekra, menggiring opini masyarakat melalui media dan sastra.

Lekra, Prahara Transparasi Jati Diri Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 comments:

Post a Comment